Oleh: Ayunita Holy Suhita, S.Pd.
Selama lebih dari dua puluh tahun mendampingi anak-anak dan orangtua dalam perjalanan tumbuh kembang mereka, Holy Yadha menyadari satu hal menarik: banyak keluarga merasa sudah menjalankan tugasnya ketika semua jadwal, target, dan tanggung jawab anak terpenuhi. Namun sesungguhnya, kehidupan anak tidak hanya dibentuk oleh hal-hal yang terlihat dan terukur, melainkan juga oleh yang tak terjadwal dan tak kelihatan - seperti perhatian, sentuhan kasih, dan kehadiran emosional orangtua.
Kita mungkin selalu memastikan anak hadir di kelas, mengerjakan PR, dan meraih nilai baik. Tapi jarang sekali kita jadwalkan waktu untuk sekadar bertanya,
“Apa yang kamu pelajari hari ini?”“Apa yang kamu rasakan ketika belajar?”
Pertanyaan sederhana ini bisa menjadi jendela besar menuju dunia batin anak - dunia yang sering luput dari perhatian karena tak tertulis di kalender.
π§ Belajar Adalah Proses Relasional
Manurut Urie Bronfenbrenner, seorang ahli dalam bidang psikologi perkembangan, melalui Ecological Systems Theory, menegaskan bahwa lingkungan sosial terdekat - terutama keluarga - memiliki pengaruh langsung terhadap perilaku dan semangat belajar anak. Hubungan yang stabil, penuh perhatian, dan hangat menjadi fondasi munculnya rasa aman, yang kemudian menumbuhkan motivasi belajar dari dalam diri.
Sejalan dengan itu, Lev Vygotsky dalam teori Zona Perkembangan Proksimal menjelaskan bahwa kemampuan anak berkembang paling optimal ketika ia didampingi secara emosional dan sosial oleh orang dewasa atau teman sebaya yang suportif. Interaksi dan bimbingan yang penuh empati membuat anak berani mencoba hal baru, berpikir lebih dalam, dan tidak takut salah.
Sementara Daniel Goleman melalui konsep Emotional Intelligence menegaskan bahwa keberhasilan anak tidak hanya ditentukan oleh kemampuan intelektual, tetapi juga oleh kecerdasan emosional — kemampuan untuk memahami, mengelola, dan merespons perasaan diri sendiri maupun orang lain. Anak yang merasa dicintai dan diperhatikan akan lebih fokus, gigih, dan mampu menghadapi tekanan belajar dengan tenang.
π¬ Suara Ahli Lokal: Pendidikan dari Hati
Ahli psikologi Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono menegaskan bahwa penerimaan tanpa syarat dari orangtua menjadi sumber utama kepercayaan diri anak dalam belajar dan bersosialisasi. Anak yang merasa diterima apa adanya tumbuh dengan rasa aman untuk bereksplorasi dan tidak takut salah - fondasi penting dalam proses belajar sejati. Senada dengan itu, Dr. Rose Mini Agoes Salim (Bunda Romy) menekankan pentingnya keterlibatan aktif orangtua dalam percakapan harian. Saat orangtua mendengarkan tanpa menghakimi dan hadir dengan empati, anak belajar memahami diri serta membangun motivasi belajar yang lahir dari cinta, bukan tekanan.
Pandangan ini sejalan dengan Ki Hajar Dewantara, yang menekankan bahwa pendidikan sejati bukan sekadar mengajar, tetapi menuntun kodrat anak agar mencapai kebahagiaan dan keselamatan setinggi-tingginya. Setiap anak memiliki potensi unik yang perlu diarahkan dengan kasih dan keteladanan, bukan sekadar perintah. Ketiganya mengingatkan kita bahwa pendidikan bermakna berawal dari hubungan yang manusiawi - ketika orangtua dan pendidik hadir dengan hati, empati, dan ketulusan, anak tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, mandiri, dan berkarakter kuat.
π± Antara yang Terlihat dan Tak Terlihat
Di lingkungan Holy Yadha, kami percaya bahwa keberhasilan belajar anak bukan hanya diukur dari nilai dan kehadiran, tetapi juga dari dukungan emosional yang konsisten dari rumah dan sekolah. Anak yang merasa aman dan diperhatikan akan belajar dengan semangat yang tumbuh dari dalam dirinya. Sebaliknya, anak yang jarang mendapat perhatian emosional sering kali kehilangan fokus, enggan belajar, atau menarik diri. Dalam banyak kasus, masalahnya bukan terletak pada kemampuan, melainkan pada keterhubungan.
π‘ Menjadwalkan yang Tak Terjadwal
Mendampingi anak bukan hanya soal memberi arahan, tetapi juga menciptakan momen bermakna yang sering kali sederhana:
- Mendengarkan cerita anak tanpa tergesa.
- Mengapresiasi usaha, bukan hanya hasil.
- Menyediakan waktu tenang untuk belajar atau bermain bersama.
Sebagaimana disampaikan Maria Montessori:
“Setiap anak memiliki nyala api dalam dirinya.Tugas pendidikan adalah menyalakan, bukan memadamkannya.”
Mari kita mulai menjadwalkan hal-hal yang tak tercatat - perhatian, empati, dan waktu berkualitas. Di situlah nilai kehidupan tertanam dan semangat belajar tumbuh secara alami.
"Yang tak terjadwal dan tak kelihatan sering kali justru menjadi pondasi kehidupan anak yang paling kuat dan abadi."
Kasih sayang, perhatian, dan komunikasi yang hangat adalah investasi jangka panjang bagi karakter dan keberhasilan mereka di masa depan. Mari, sebagai orangtua dan pendidik, kita berkolaborasi menumbuhkan generasi pembelajar yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga tangguh secara emosional dan spiritual. Karena sesungguhnya, kehadiran kita adalah kurikulum pertama bagi anak-anak kita.
Tulisan ini dipersembahkan oleh Holy Yadha sebagai refleksi dan ajakan bagi para orangtua serta pendidik untuk terus menumbuhkan kesadaran dan semangat belajar anak-anak, dengan hati dan cinta yang tulus.







.png)


.png)
